Semuanya sudah di rencakan dengan sangat matang, kami bertiga akan bolos sekolah di hari sabtu untuk pergi ke pantai Santolo, pantai yang ada di daerah Garut. Tidak tahu tanggal dan bulan apa, itu sudah terlupakan begitu saja di telan waktu. Kenapa kami ingin bolos sekolah pergi ke pantai santolo, karena aku penasaran. Suatu hari ada temanku si Deblo namanya, kasih tahu kalau di daerah Garut ada sebuah pantai yang namanya Santolo, katanya sih sangat indah, bagus, dan tentunya masih alami, masih belum banyak orang yang tahu, tidak seperti sekarang sudah banyak orang pergi ke sana yang tidak tahu mau ngapain, pastinya lihat pantai. Si Deblo sendiri belum pernah pergi ke sana, tidak tahu kalau sekarang mungkin saja dia sudah pernah pergi ke sana, dia tahu itu dari temannya juga, tapi aku tidak tahu temannya si Deblo itu, dan aku sama sekali tidak mau tahu.
Pada hari Rabu, kalau tidak salah berarti benar, di suatu tempat untuk mencari ilmu dimana siswa siswi atau murid melakukan prosses pembelajarannya yang di namakan sekolah. Aku ajak teman sekelas, maksudnya bukan di ajak satu kelas untuk bolos, tapi hanya beberapa saja yang kebetulan satu kelas denganku, teman bolos, si Fahmi dan si Lubis namanya untuk bolos di hari Sabtu. Mereka berdua itu laki-laki, tentu mereka juga manusia berkepala satu, bertangan dua, berkaki dua, punya mata dua, telinga dua, sama seperti umumnya manusia.
“Mi wang ka Santolo yu ah” Seruanku terhadap si Fahmi, itu bahasa sunda yang artinya Mi kita ke Santolo yu.
“Hah Santolo? Dimana?” Jawabnya dengan kembali bertanya, karena mungkin dia tidak tahu dimana Santolo itu, memang dia tidak tahu, makanya dia balik nanya.
“Di Garut cenah” cenah itu bahasa sunda yang berarti katanya, aku menjawab dengan mudah pertanyaan yang di berikan Fahmi kepadaku. Sebenarnya aku juga tidak tahu tepat lokasinya, pokoknya lokasinya itu di daerah Garut, itu juga kata si Deblo.
“Kapan?” Fahmi memberikan pertanyaan lagi.
“Nanti hari Sabtu sekarang Mi”
“Waduh… tidak bisa Din, aku mau ke pantai Pangandaran bareng teman-teman kampung” Fahmi menolaknya dengan begitu halus, tentunya mungkin itu di sertai dengan penuh keiklasan, tidak sampai menjerit-jerit, karena itu akan kelihatan begitu lebay dan menjijikan.
“Euuhhh” Kataku dengan sedikit menyesal.
“Udah, mending ke Pangandaran aja Din, biar nanti kita bareng” Fahmi nawarin aku bolos nya pergi ke Pangandaran bersama bareng temannya.
“Nggak ah, aku pingin ke Santolo, udah bosen ke Pangandaran mah” Aku juga menolak tawaran yang Fahmi ajukan dengan sikap yang penuh percaya diri.
“Ya udah, kalau gak mau ikut mah”
“Ya udah” Kami berdua saling menolak tawaran yang di ajukan dari masing-masing tawaran yang di tawarkan kepada masing-masing kami.
Dengan sikap tegar, tenang, dan ceria aku langsung pergi dari tempat kami ngobrol tentunya kami tidak saling membenci, dan untuk segera menemui si Lubis. Aku tidak tahu apa yang di lakukan Fahmi setelah aku meninggalkanya beberapa detik yang lalu, mungkin fahmi diam saja di tempat itu, mungkin loncat-loncat seperti jungkir balik kalau dia mau, atau mungkin dia melakukan aktrasi spektakuler seperti limbad, atau mungkin juga dia bunuh diri. Tapi nyatanya dia tidak melakukan apapun sama sekali, oh maafkan aku yang sudah berfikiran seperti itu.
Si Lubis yang sedang asik tidak tahu asik ngapain, keliatan nya memang sedang asik menurut orang yang menganggapnya asik, bagiku hanya biasa saja. Aku samperin dia.
“Bis euy” Aku memangginya.
“Naon sia Din?” Jawabnya dengan wajah yang asik menurut orang yang menganggapnya asik itu. Oh, itu bahasa Sunda yang sedikit kasar artinya apa kamu din?
Sudah jelas aku ini manusia tapi dia menganggapku kadal karena nama panggilanku Dindin kadal, katanya aku mirip kadal, tapi aku tidak begitu mempedulikannya. Karena itu yakin hanya sebuah candaan, walaupun bukan candaan juga aku tetap tidak akan peduli.
“Tahu Santolo gak?”
“Oh, Santolo yang ada di Garut itu” Ternyata dia tahu kalau Santolo itu ada di Garut, maksudnya dia sudah tahu pantai Santolo itu.
“Iya”
“Tahu lah, aku sudah pernah pergi ke sana” Pantesan aja dia tahu.
“Sabtu kita bolos yu ke sana” Hasutanku kepada si Lubis untuk mengajak bolos sekolah.
“Hayu, siapa saja” Dia menyetujui ajakanku untuk bolos di hari Sabtu di sertai pertanyaan yang begitu mudah untuk di jawab, dia memang selalu setuju kemanapun atau kapanpun bolos itu akan berlangsung, karena dia itu si raja bolos no satu di kelas kami, aku no dua, Fahmi no 3, dan no 4 nya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
“Berdua aja Bis” Mudahkan aku menjawabnya.
“Masa berdua?” Dia bertanya dengan heran, mungkin menurutnya seperti orang yang mau pergi kencan. Oh sit aku ini laki-laki yang masih normal, akan normal, dan Insya Allah normal selamanya.
“Iya, tadi aku sudah ajak si Fahmi tapi dia tidak mau, dia mau ke Pangandaran bareng teman di kampungnya” Aku menjelaskan nya.
“Oh, ya udah. Jadi kita berdua aja” Akhirnya dia benar-benar setuju untuk bolos ke pantai Santolo di hari Sabtu.
“Oke” Jawabku yang sangat singkat.
Tiba di hari Sabtu, dengan begitu cepatnya hari berlalu sampai aku tidak keburu nulis semua yang terjadi di hari sebelumnya, karena itu tidak terlalu penting untuk ditulis, aku tidak mengingatnya sampai sekarang, dan memang sengaja aku tidak mengingatnya.
“Din aku ikutlah ke Santolo” Pagi-pagi sekali sekitar jam 6, si Fahmi ngirim Sms kepadaku dengan kemungkinan berharap aku masih belum berangkat. Tidak pake lama aku langsung balas smsnya dengan mengiyakan tanpa memberi pertanyaan kenapa tiba-tiba kamu mau ikut, kan katanya mau ke Pangandaran.
“Jemput atuh ke rumah Din, aku tidak ada motor” Balasan smsnya seraya menyuruh aku menjemputnya.
“Oke, wait” Aku membalas Smsnya dan langsung menjemput si Fahmi yang berada di rumahnya.
Setelah aku menjemputnya, kami berdua hanya tinggal menunggu satu orang. Siapa lagi kalau bukan si Lubis, karena kalau si Nanang tidak mungkin karena dia orangnya rajin, rajin banget, saking rajinnya dia terpilih jadi ketua osis, apa lagi si bibi cikur jelas dia akan menolaknya karena nanti tidak ada yang jaga kantin di sekolah. Kami berdua menunggu di dekat terminal, di sebuah warung kecil tempat biasa kami berkumpul sepulang sekolah, tentunya dipinggir jalan. Sampai jam Sembilan dari jam Tujuh kami menunggunya disertai sangat kesalnya terhadap kelakuan si Lubis yang begitu kaleumnya. Dengan wajah tanpa dosa dia tiba-tiba ada dihadapan kami. Tentunya dia tidak melakukan teleportasi seperti Son Goku untuk ada di hadapan kami, hanya mengendarai motor mio hitam dari rumahnya untuk ada di hadapan kami, berpakaian seperti koboy, jaket kulit seperti preman pasar, sepatu yang sampai ke lutut panjangnya, hanya tidak memakai rok mini saja.
Kami bertiga sudah berkumpul dititik awal perjalanan kami yaitu disebuah warung kecil tadi. Perjalananpun dimulai dari sini.
~Bersambung~
Mantap
BalasHapussip,
BalasHapusnice story gan
BalasHapusNice gan. Bolos sekolah yg direncanakan :D
BalasHapusHaa,, iya. masih belum beres, kepanjangan kalau di satu post.
Hapusthank udah mampir yah
http://cekharianphone.blogspot.co.id/
BalasHapus