Kejadian yang tidak di inginkan, sama sekali tidak menginginkannya, motorku yang di kendarai Fahmi kena stop polisi, baru saja di Singaparna. Padahal masing-masing kami memakai helm, kaca spion di pasang dua-duanya, sarung tangan di pasang, pokoknya semua atribut berkendara kami pakai supaya tidak di stop polisi. Mungkin si polisi itu tahu kalau kami belum memiliki Sim, tapi tahu dari mana yah, hmmm. Oh iya sedikit informasi, kami bertiga mengendarai dua motor, maksudnya bukan dua motor sekaligus kami kendarai, tapi aku bersama Fahmi dan Lubis sendiri.
Fahmi seperti orang yang tidak memiliki nyawa ketika aku beritahu kalau di depan ada polisi yang sedang mengatur jalanan, Fahmi seperti orang yang kena hipnotis begitu saja melihat polisi, tidak mendengar apapun yang aku ucapkan untuk menghindari polisi itu, mungkin dia mendengarkannya tapi dia mengabaikannya saking groginya dia berhadapan dengan seorang polisi. Apakah Fahmi jatuh cinta terhadap polisi itu di saat pertama kali menatap wajahnya. Oh hanya Fahmi dan Tuhanlah yang tahu isi hatinya saat itu.
Kami sangat takut kena tilang, karena biasanya si Polisi suka minta uang tebusan atau uang perdamaian, tapi aku juga takut kalau ikut sidang padahal sidang malah lebih enak dan gampang, juga mengakui kesalahan tanpa harus mengeluarkan uang perdamian untuk polisi, tapi untuk orang yang menyidangnya, maksudnya untuk Negara. Ahhhh... apakah itu permainan oknum polisi untuk kepuasan tersendiri.
Lubis yang lumayan jauh berada di belakang motor kami sempat teriak-teriak dengan kode hanya kami bertiga yang tahu, untuk menghindari polisi dengan apapun caranya. Untungnya dia tidak kena tilang, karena dia langsung berhenti ke pinggir jalan setelah teriakan terakhirnya di abaikan oleh kami berdua.
“Boleh lihat surat-suratnya?” Tanya polisi itu kepada kami berdua.
“Boleh” jawab Fahmi kepada polisi.
“Mana Din STNKna” Tanya Fahmi kepadaku.
“Nih” Aku memberikan STNK motorku kepada Fahmi untuk di perlihatkan ke polisi.
“SIM?” Tanya polisi lagi kepada Fahmi.
“Aduh belum punya Sim, Pak”
“Oke, ikut bapak kesini” si Polisi mengajak kami berdua mengikutinya untuk ke sebuah pos tempat jaga polisi itu. Ingat yah, ke sebuah pos polisi, bukan pos kamling, atau pos ronda, atau pos kantor, atau posko pengungsian.
“Jadi kalian bapak tilang yah” Polisi itu mengeluarkan kumpulan kata dengan sikap seolah-olah tegap menurutnya.
“Aduh Pak, jangan Pak” Jawabku sambil memohon supaya tidak di tilang.
“Pokonya kalian berdua bapak tilang, karena belum memiliki SIM. Ini STNK juga bapak tahan nanti Jumat ikut sidang” Kata polisi itu sambil menulis surat tilang yang berwarna merah.
“Wahhhh, jangan dong Pak.” Aku masih memohon kepada polisi itu.
“Tidak bisa, pokonya kalian bapak tilang”
Hampir satu jam dikurangi sekitar 30 menit, aku terus berupaya dengan berbagai alasan terhadap si Polisi itu, supaya STNK motorku tidak di tahan. Nah si Fahmi kemana? Oke si Fahmi tidak kemana-mana masih bersama aku dan si Polisi, hanya terdiam saja tanpa bersuara sedikit pun. Setelah begitu lamanya, sekitar 31 menit, entah kenapa tiba-tiba si Polisi itu menawarkan STNKku kembali, tapi dengan barang perdamaian, uang tentunya. Menanyakan berapa uang yang kami punya untuk di tukar dengan STNKku, lantas aku begitu senang, tapi tidak senang. Senangnya STNKku bisa kembali disaat itu juga, tidak senangnya polisi itu meminta uang yang kami punya, sedang kan uang kami tidak sebarapa hanya cukup untuk bekal dan pulang pergi Tasik-Santolo.
“Udah Din, nih aku lima puluh ribu” Akhirnya Fahmi bersuara sambil memberikan uang kepadaku untuk di tambah lagi dengan uang yang ku punya.
“Nah sok patungan, biar cepat” Kata si Polisi di sertai wajah yang kelihatan gembira.
“Yaudah Pak, nih. Kami hanya punya uang segini (Seratus ribu hasil patungan)” Aku memberikan uangnya kepada polisi dan poilisi memberikan STNK kepadaku, diakhiri perdamaian di tempat dengan happy ending dari kedua belah pihak, tapi aku tetap tidak happy hanya pura-pura happy saja karena uang kami hampir habis.
Perjalananpun di lanjut kembali untuk beberapa meter saja supaya menjauh dari pos polisi untuk menunggu si Lubis, kan dia belum melewati jalan yang ada pos polisinya takut kena tilang juga. Yaudah aku samperin si Lubis kembali dengan berjalan kaki untuk mencari jalan pintas yang tidak melewati pos polisi, Fahmi menunggu berdua bersama motor di tempat yang sudah melewati pos polisi beberapa meter itu.
Tidak perlu waktu seharian untuk menemukan jalan pintas, akhirnya kami bisa berkumpul di tempat yang sudah Fahmi tunggu. Berundinglah kami bertiga untuk melanjutkan perjalanan atau berhenti disini, kemudian pulang kembali ke rumah masing-masing. Sekitar tujuh puluh lima ribu, uang yang kami bertiga punya saat itu di ragukan untuk bisa cukup bekal dan pulang pergi Tasik-Santolo. Dengan tekad yang persegi panjang di barengi semangat empat lima merasa ingin tahu, akhirnya kami bertiga tidak memutuskan untuk pulang kembali ke rumah dan melanjutkan perjalanan menuju Santolo dengan bekal seadanya.
~Bersambung~
(y)
BalasHapusMampir dong di www.muxty.blogspot.com